Menghidupkan Tan Malaka Lewat Sastra

BAGIKAN:

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter

Tan Malaka. Nama ini sangat terkenal bagi kalangan yang ingin memperdalam sejarah bangsa utamanya yang mengulik tokoh-tokoh penggiat ideologi sosialisme dan komunisme. Ya, Tan Malaka memang sosok kontroversial dengan ideologi yang dianutnya ini. Karena itu, rezim orde baru enggan mencantumkannya sebagai salah satu pahlawan bangsa yang membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajahan Belanda.

Sebelum era reformasi bergulir, kita memang kerap dicekoki stigma yang buruk terkait sosialisme dan komunisme. Citra kejam dan bengis seakan coba diangkat rezim orde baru untuk komunisme. Itu terlihat dari penayangan film G30S/PKI setiap tanggal 30 September.

Untunglah, banyak pihak yang peduli soal pelurusan citra Tan Malaka ini. Beberapa kali buku soal Tan Malaka meluncur diantaranya yang ditulis sejarawan Belanda, Hary Poeze yang sampai menuliskan buku soal Tan Malaka hingga 4 jilid. Kali ini, kisah soal Tan Malaka dikemas dengan cara berbeda. Ya, buku berjudul “Tan, sebuah novel” ini memang seakan ingin menghidupkan kembali sosok Tan Malaka lewat karya sastra.

Pembaca tidak saja disodori dengan kisah heroik di buku ini, tapi juga sisi romantis Tan Malaka yang sempat mencintai dua sosok gadis yaitu Fenny van de Snijder dan juga gadis sunda, Enur. Dengan penyajian yang mengalir, pembaca bisa menikmati buku ini dengan santai sekaligus bisa mengetahui sejarah pergerakan Tan Malaka mulai dari Belanda sampai pulau Jawa.

Buku dimulai dengan kisah Tan Malaka, yang sebenarnya memiliki nama asli Ibrahim, di kampungnya, Nagari Lamuik Suliki, Limapuluh Kota Sumatera Barat. Sejak halaman awal, sisi kontroversial Tan sudah diangkat lewat keberaniannya tinggalkan gelar adat demi menuntut ilmu ke Belanda. Padahal, melawan adat dan para tetua di kampung haram hukumnya saat itu. Namun, Tan memilih untuk tetap pergi sekolah ke Belanda. Dia ingin menimba ilmu dengan tujuan membuat masyarakat Indonesia pintar.

Di negeri Belanda, konflik yang menyertai Tan Malaka tidak berakhir. Soalnya, dia tidak saja menuntut ilmu di Rijweekschool lewat bantuan dari pria Belanda yang disebutnya Engku Guru, Horensma, namun dia juga aktif menulis dan berorganisasi di perkumpulan pelajar Hindia di Belanda (PPHN). Lewat tulisan, dia kerap menyerempet kebijakan Belanda di Hindia, tanah jajahan mereka. Maka itu, dia beberapa kali sempat bermasalah dengan pihak sekolah yang membiayainya.

Namun bukan itu yang membuatnya akhiri studi di Belanda lebih cepat. Penyakit radang paru-paru membuatnya harus pulang ke Hindia (Nama Indonesia saat itu). Dokter mengatakan, Tan Malaka tidak cocok hidup di negeri dingin dan harus kembali ke negeri tropis. Dengan berat hati, dia tinggalkan Belanda dan sang kekasih, Fenny. Bukan ke kampung halaman, tapi dia pergi ke Deli Sumatera Utara.

Dia mengabdi sebagai guru di sebuah perkebunan Goed Bericht yang dikuasai Belanda. Di sini, Tan Malaka melihat banyak ketidakberesan seperti gaji pekerja yang terlalu rendah dan kurang perhatiannya pemilik kebun terhadap kesehatan buruh dan keluarganya. Di sinilah Tan Malaka mulai mempraktekkan ilmu sosialisme dan ideologi pergerakan massa melawan penjajah. Tentu ini tidak mudah karena aksinya ini membuat dia disiksa dan dikejar-kejar pemerintah Belanda yang menguasai perkebunan.

Dia lalu melanjutkan perjuangan ke Jawa. Dari sini, dia mulai membangun jaringan Partai Komunis Hindia (PKH). Dia berkenalan dengan tokoh-tokoh PKH seperti Semaun. Meski menganut paham komunis, Tan Malaka juga taat dengan agama yang dianutnya, Islam. Maka itu, dia pun ingin merangkul Sarekat Islam (SI) yang salah satunya ditokohi Tjokroaminoto dalam rencananya mengusiri penjajah dari Hindia Belanda.

Perjuangan Tan Malaka di PKH tak berjalan mulus karena dia malah dihianati rekan-rekannya sendiri sesama perjuangan. Selain itu, makin kuatnya PKH membuat pemerintah Belanda terus mencarinya hingga akhirnya dia tertangkap di sebuah daerah di Jawa Barat tepatnya Desa Sunten Jaya.

Buku ini memberikan kisah detail aktivitas perjuangan Tan Malaka demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Lewat medium novel, membaca buku ini menjadi tak membosankan seperti halnya buku-buku sejarah pahlawan Indonesia yang banyak beredar. Kita bahkan bisa larut oleh deskripsi penulis, Hendri Teja kala menggambarkan penyiksaan penjajah terhadap Tan Malaka  yang dibumbui kisah cintanya dengan gadis Belanda dan Sunda.

Seperti fungsi sastra kebanyakan yang bertujuan menghibur dan mendidik lewat narasi-narasi apik, buku ini pun mengusung misi serupa. Hendri Teja yang berdarah Minang Kabau mampu memaparkan karakter Tan Malaka dengan lengkap sehingga seakan-akan hidup kembali. Belum lagi, Hendri juga merupakan aktivis buruh sehingga benar-benar tahu apa yang ditulisnya.

Meskipun tebal, 425 halaman, tapi pembaca dijamin tak akan bosan membaca buku ini. Soalnya cerita begitu mengalir sehingga membuat pembaca penasaran untuk membaca sampai akhir. Singkat kata, buku ini memang wajib dibaca bagi kita yang ingin mengetahui sosok unknown hero seperti Tan Malaka. (*)

Judul                   :  TAN, Sebuah Novel
Penulis                :  Hendri Teja
Tahun                   :  2016
Penerbit              :  Javanica
Tebal                     :  425 halaman

 

Pengemas Informasi : @defrisaefullah